Kamis, 23 Agustus 2018

Kenapa sulit mengemukakan suara kaum minoritas di negeri ini?

Baru-baru ini saya mengirimkan artikel untuk dimuat di salah satu kanal blog bersama bernama Seword. Ya betul, buat sebagian orang yang tahu kanal ini, inilah kanal yang secara aktif mendukung Jokowi. Saya sendiri bukan pendukung Jokowi. Saya pilih Jokowi karena memang saat itu beliau memang yang terbaik menurut saya dari pilihan yang ada. Dan jujur, beberapa tahun di bawah kepemimpinan beliau, Indonesia memang terasa perubahannya.

Lalu kenapa artikel saya ditolak oleh Seword? 

Untuk lengkapnya, saya copy-kan dulu artikel yang pernah saya kirimkan dan untuk membedakannya saya cetak miring:


Arti Saya Sebagai Minoritas Mendukung Jokowi

Betul! Saya kecewa sekali dengan pemilihan cawapres yang dilakukan oleh Jokowi. Apalagi setelah menyaksikan beberapa fakta sebelum pencalonan yang membawa-bawa nama NU sebagai organisasi yang besar dan nama salah satu tokoh nasional yang masih saya kagumi sampai sekarang yaitu Mahfud MD.

Saya termasuk kaum minoritas di negeri ini. Karena apa? Mudah saja. Karena agama yang saya anut. Kristen.

Kalau ada yang bertanya ke saya, hingga saat ini apa yang sudah dilakukan Jokowi untuk menopang kebebasan beragama khususnya untuk kaum minoritas? Jawabnya antara gampang dan susah. 

Gampang, jika berkaca pada apa yang Jokowi lakukan di Papua. Papua dengan mayoritas pemeluk agama Kristen bergerak cepat dengan pembangunan infrastruktur dan kebijakan BBM satu harga. Saya pernah di Papua. Lebih dari 6 tahun. Jadi saya tahu apa sulitnya mengarungi jalan di Papua terutama di pegunungan tengah.

Gampang, kalau melihat apa yang Jokowi yang sudah lakukan juga untuk pemilihan para menterinya. Kalau mau jujur, inilah kabinet dengan jumlah menteri non-muslim terbanyak selama ini. Mohon dikoreksi jika saya salah.

Gampang, kalau melihat Jokowi tidak pilih-pilih dalam mengunjungi daerah yang terkena bencana. Sinabung dan Asmat, lagi-lagi dua daerah dengan mayoritas non Muslim.

Lalu susahnya? Susah, kalau melihat hingga sekarang tak ada solusi untuk pendirian 2 gereja yang dipaksa untuk ditutup/ dipindahkan. Atau jangan-jangan sudah ada? Kalau saya perhatikan berita tentang ini sudah jarang menghiasi media massa. Mungkin sedang menunggu saat yang tepat untuk “digoreng” oleh kubu lawan Jokowi.

Susah, kalau melihat bahwa adanya SKB 3 menteri justru mempersulit pendirian rumah ibadah untuk menyokong kebebasan beragama itu sendiri.

Susah, kalau melihat bagaimana Jokowi justru memilih cawapres yang justru melarang mengucapkan selamat Natal.

Lalu kenapa masih memilih Jokowi? Kenapa tidak golput saja? Kalau golput terus terang kita akan rugi, memilih adalah hak sekaligus kewajiban warga negara. Jadi saya coret pilihan untuk golput. Kenapa tidak pindah ke kubu sebelah yang mungkin akan memberi harapan yang lebih baik bagi kaum minoritas? Keduanya pernah bersekolah di sekolah Kristen, asumsinya mereka mungkin akan lebih nasionalis, akan lebih toleran, akan paham seluk beluk bagaimana memperlakukan kaum minoritas dengan baik, dan lain sebagainya.

Jawabannya sederhana saja: Pertama, karena PKS mendukung kubu sebelah. Seandainya PKS tidak mendukung salah satu pasangan, mungkin situasinya akan lain. Ada apa dengan PKS? Silahkan dicari-tahu sendiri. Banyak yang sudah menuliskannya. Kedua, saya masih melihat tidak ada kejelasan platform yang akan dibawa oleh kubu sebelah. Entah mau diapakan nanti negeri ini.

Lalu apa artinya saya sebagai kaum minoritas mendukung Jokowi? Artinya, se-tidak suka saya dengan cawapres Jokowi yang sekarang, saya masih melihat lebih banyak harapan untuk negeri ini jika tetap mendukung Jokowi. 

Saya membayangkan saat mencoblos nanti saya lipat dulu kertasnya, supaya wajah di sebelah Jokowi tidak kelihatan. Coblos dan tunai sudah hak dan kewajiban saya.

Nah, itulah artikel yang saya kirimkan. Lalu apa jawaban redaksi Seword? Saya screen-shoot saja supaya tidak dianggap hoax :)

Intinya (bagian yang ditebalkan oleh redaksi), artikel yang saya kirimkan sepertinya belum "anti SARA" karena masih menyinggung agama tertentu dan dianggap tidak mengkritik dengan elegan, serta dianggap tidak didukung data yang valid. Data yang valid menurut redaksi Seword adalah yang diambil dari media mainstream seperti Detik, Kompas, Tempo, dan Tribunnews. Seriously? Are you kidding me?

Setujukah saya dengan apa yang disampaikan redaksi Seword? Terus terang tidak. Apa yang saya sampaikan menurut saya adalah fakta bahwa memang saya tidak terlalu suka dengan cawapres Jokowi. Saya tidak suka dan banyak fakta yang memperkuat ketidak-sukaan saya yang saya tuangkan dalam artikel itu. Tapi, intinya, saya tetap mendukung Jokowi karena memang Bapak satu ini memang masih layak didukung!

Penolakan penerbitan artikel saya oleh Seword malah membuat saya berasumsi macam-macam. Jangan-jangan dalam tataran redaksi Seword ada yang memang pendukung kental cawapresnya Jokowi tersebut. Malah asumsi saya makin jauh lagi. Dalam tataran redaksi Seword juga masih ada orang-orang yang termasuk dalam poin "susah" ketiga yang saya sampaikan di artikel saya itu.

Kalau memang demikian. Wah, masih panjang perjuangan negeri ini untuk menjadi negeri yang penuh dengan toleransi. Masih panjang perjuangan ini untuk menjadikan Pancasila benar-benar menjiwa dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai pulau Rote. Masih perlu banyak Joni-Joni lainnya yang siap naik tiang bendera. Masih perlu banyak Susi Susanti. Masih perlu banyak Chris John. Masih perlu banyak orang-orang dari kaum minoritas yang tampil ke depan membawa nama bangsa. Supaya orang-orang itu tahu Indonesia tak hanya mereka tapi juga ada kaum minoritas di tubuh bangsa ini. By the way Indonesiakah mereka-mereka itu? Ah sudahlah... 

Senin, 19 Maret 2018

Usia 41: Becoming the Expendables


Sumber: Lionsgate

Membaca judul di atas, pasti sebagian besar orang akan bingung. The expendables? Ini penulis tau nggak ya arti kata itu? Itu kan artinya “bisa dibuang”. Contohnya, kemasan yang bisa dibuang disebut expendable packaging atau persediaan yang bisa dibuang sebagai expendable supplies

Ketika menulis ini sebenarnya ulang tahun saya sudah lewat. Tanggal 15 Maret. Biasanya saya selalu menulis tiap kali ulang-tahun. Supaya ada refleksi. Buat diri sendiri dan buat orang lain yang mau membaca tulisan ini. Nah, sekarang sudah tanggal 19 Maret. Kalau pengaturan waktu di blog benar, tulisan ini bisa dikenali sebagai tulisan yang dibuat tanggal 19 Maret atau bisa saja dianggap sebagai artikel yang dibuat tanggal 20 Maret. Tidak masalah sih, hanya memang harus dituliskan saja mengingat ada ide soal “the expendables” ini yang terlintas tanggal 17 Maret lalu.

Jadi ceritanya begini.. kalau sebagian besar orang sudah memasuki fase nyaman dalam karir atau pekerjaan di usia 40, maka saya justru kebalikannya. Usia 40 tampaknya menjadi titik puncak karir saya ketika berada di bagian management. Tau kan management? Tugasnya susah-susah gampang, yaitu managing people. Mengatur orang. Berdasarkan kemampuan mereka dan bagian mereka masing-masing. Kalau mengaturnya bagus, then you are a good manager. Kalau pengaturannya buruk tapi pekerjaan dan target tetap berjalan dengan baik, then you might be a good leader ha..ha..ha.. Ini hanya bercanda saja. Bukan mau mencari bedanya antara manager dan leader. 

Nah, ketika usia 41 saya justru mencoba hal baru. Hal yang justru tidak ada dalam jalur panduan karir (beberapa waktu yang lalu tim saya sempat mendiskusikan tentang panduan karir sesuai dengan arahan dari departemen orang-orang dan kebudayaan, setidaknya itu sebutan mereka sekarang. Dulu sebutannya HRD). Dari yang semula mengurusi orang, sekarang menjadi staf biasa di bagian teknis. Orang-orang di kantor menyebutnya spesialis. Kadang diplesetkan juga jadi salah satu nama penyakit kelamin yang nggak perlu disebutkan di sini :)

Idenya apa sih? Apa yang terlintas tanggal 17 Maret itu? Apa pentingnya? Nah, ketika ingin menulis tentang the expendables, sebenarnya rujukan saja bukan hanya terjemahannya saja tapi justru lebih banyak berasal dari satu kelompok para jagoan pimpinan atau binaannya Sylvester Stalone. Mudah-mudahan namanya benar. Yah, pokoknya kelompok itu lah. Yang tua-tua itu tapi jago-jago semua. Jago-jago pada jamannya dan tetap jago juga pas udah tua. Tapi jujur, usia memang nggak bisa ditutupi. Selalu ada faktor usia yang pasti mengurangi kejagoan orang-orang di tim itu. Dan kejagoan saya... hiks..

Ketika itu (tanggal 17 Maret) saya membayangkan menjadi the expendables itu seperti menjadi sebuah kertas bekas yang tinggal diremas kemudian dibuang di tempat sampah. Kalau di kantor, kertas bekas biasanya masih bisa dipakai jika salah satu sisinya masih kosong. Bisa buat mencatat sesuatu ketika nggak sempat mengambil buku catatan, atau sekedar menempel nota-nota untuk pertanggung-jawaban keuangan. Beberapa lembar kertas bekas juga kadang bisa digabung menjadi buku catatan kecil misalnya. Jadi dalam bayangan saya, itulah the expendables. Kertas yang sebenarnya bisa saja dibuang. Tapi dibuang sayang. Sayang, kalau nanti diambil orang terus dijual kiloan, orang yang mengambil itu yang untung, padahal kan ini kertas saya, saya beli dengan uang saya. Uang perusahaan saya. Kira-kira mungkin begitu pemikiran organisasi he..he..

Atau.. kalau dibuang, nanti diambil orang kemudian kertasnya diputihkan lagi dan dipakai lagi menjadi sebuah buku tulis yang bagus.. bisa saja kan? Lagi-lagi yang mengambil itu yang untung, padahal ini kertas saya.. Paham nggak maksudnya? Kalau nggak paham ya nggak apa-apa juga sih.. Tapi ini hanya perumpamaan saja. Kalau saya adalah kertas maka pemilik kertas pastilah kantor atau perusahaan yang membeli kertas. Dari pemahaman itu silahkan dikembangkan saja ya..

Ketika kertas bekas dipakai, dia menjadi berguna untuk sesaat. Mungkin untuk menulis sesuatu. Setelah informasi dalam kertas bekas dipindahkan ke buku catatan, maka peran kertas bekas selesai. Biasanya langsung diremas dan kemudian dibuang. Selesai? Yup, bisa selesai di situ kemudian diambil oleh janitor dan dibuang ke tempat sampah. Akhirnya? Mungkin dibakar di TPA (tempat pembuangan akhir).

Tapi setelah diremas, eh.. tiba-tiba ada yang memerlukan kertas itu. Lipatan atau remasannya dibuka dan kemudian kertas ditulisi lagi. Tidak hanya ditulisi namun sang kertas bekas dilipat dengan baik dan dimasukkan ke dalam saku. Rupanya informasinya penting, sang kertas bekas diperlakukan dengan baik. Orang yang menyimpan kertas itu rupanya mencatat alamat yang sangat penting. Sepanjang jalan mencari alamat kertas dibuka dan dilipat kembali. Ketika sudah bersua dengan yang dicari maka selesailah fungsi sang kertas bekas. Kertas bekas kembali diremas dan dibuang.

Nah, di sinilah serunya.. ketika kertas bekas diremas dia akan berbentuk bulatan. Saya suka menyebut kondisi ini sebagai kondisi bertahan atau fase bertahan. Siapa tahu, nanti ada yang akan menggunakan lagi. Entah untuk apa. Supaya bisa digunakan lagi, apa yang bisa dilakukan? Don’t get burnt, don’t get wet, don’t get dirty, dan segudang don’t atau jangan-jangan yang lain. Jangan inilah dan jangan itulah. Intinya, bagaimana mencegah kertas masuk dalam kondisi terburuk yang mengharuskannya mau tidak mau harus dibuang. Syukur-syukur ada yang menggunakan dan kemudian membersihkan sang kertas bekas sehingga kembali bersih dan siap digunakan lagi. Lebih baik lagi kalau ada yang mengambilnya dan kemudian mendaur-ulang dirinya.

Jadi, itulah gambaran the expendables yang saya bayangkan waktu itu. Tentulah banyak kekurangannya. Kertas bekas? Well, hanya satu ide saja. Mungkin pembaca akan menemukan banyak ide lainnya tentang the expendables ini. Yang jelas, ini fase bertahan. Follow the flow. Ikuti arusnya sambil melihat-lihat pemandangan baik yang ada di sekitar. Ambil sebanyak mungkin kesempatan yang ada. Jika perlu dan masih ada kesempatan, titi lagi karir dari posisi yang ada sekarang. Hanya perlu dua tahun. Yup, dua tahun.. 

Cepatlah selesaikan pendidikanmu Ma.. supaya kita bisa gabung lagi. Bisa sama-sama lagi… Someday.. I won’t be the expendables.. I will create ones (maybe).. not being but making… Semoga!

Selasa, 03 Oktober 2017

PERCAKAPAN MALAM ITU


Celengan Doraemon (paling kiri) dan Hello Kitty (paling kanan) yang tersalahgunakan. Sumber gambar: Tokopedia


Tadi malam terjadi sebuah percakapan penting di keluarga kami. Semua bermula dari kejadian yang berlangsung kemarin malamnya lagi yang dilakukan oleh anak kami Gwen dan sepupunya Gabriel. Waktu itu karena kelelahan, opung boru mereka berdua yang harusnya mengawasi ternyata ketiduran. Maklum opung boru ini kerjanya sangat keras karena ketiadaan tukang cuci gosok di rumahnya di Palembang.

Ketika opung borunya tertidur, mulailah Gwen dan Gabriel beraksi. Mereka berdua mengeluarkan uang logam dari celengan plastik dan dituangkan ke dalam mangkok. Setelah semua uang dari dua celengan Hello Kitty dan Doraemon itu tertuang seluruhnya ke dalam mangkok, maka kemudian susu cair pun dituangkan. Ampun deh! Setelah itu bertumpahanlah susu yang dituang itu ke atas seprei dan membasahi seluruh tempat tidur. Opung borupun terbangun dan marah besar.

Keesokannya mama Gwen pulang dari tugas jaganya dan oleh opung boru diceritakanlah semua peristiwa itu. Maka seperti kebiasaan di keluarga kami, Gwen pun mendapat “ceramah” dan untuk itu papanya pun harus dihubungi.

Awalnya Gwen tidak mau terima dan tidak mengganggap itu sebuah kesalahan. Kebetulan Gabriel mungkin baru belajar tentang “good” dan “bad” di sekolahnya dan menurut Gabriel apa yang mereka lakukan berdua masuk dalam kategori “good”. Alasannya mereka hanya minum susunya saja dan tidak menelan uang logamnya. Ampun deh! Bayangkan susu bercampur uang logam yang beralih dari tangan ke tangan itu. Belum lagi zat kimia pembuatan uang yang masih menempel di uang logam tersebut. Opung borunya pun semakin marah karena tidak ada yang tahu apakah benar mereka berdua tidak ada yang menelan uang logam dari celengan tersebut.

Sebelum saya melanjutkan cerita ini, ada baiknya kita kenali dulu tokoh-tokoh utamanya. Gwen adalah putri kami yang November nanti genap berusia 4 tahun dan Gabriel adalah keponakan kami yaitu anak dari adik ipar saya yang November nanti genap berusia 4,5 tahun. Mereka berdua selisih usia 6 bulan. Saat ini ibunya Gwen sedang bersekolah lagi di FK Unsri dan saya sendiri, ayahnya Gwen bekerja di sebuah yayasan sosial di Surabaya. Sudah, segitu saja pengantarnya. Yuk, kita lanjut ceritanya…

Gwen mengamini perkataan Gabriel kalau mereka berdua tidak bersalah. Ketika mamanya Gwen pulang, maka mereka berdua pun masuk ke dalam kamar dan membahas masalah ini. Saya pun dihubungi via telepon genggam. Ketika saya berhasil dihubungi maka Gwen pun dengan gayanya mulai pura-pura tidur sambil mengeluarkan suara ngorok. Ampun deh anak kami ini gayanya…

“Pa.. ini Gwen nih Pa.. melakukan kesalahan dia ini… “ suara mamanya di seberang telepon terdengar. Sayup-sayup kudengar suara ngorok.

Lho.. siapa yang ngorok?” tanyaku.

“Ya Gwen lah Pa.. biasa.. pura-pura orok dia.. “ jawab mamanya. Suara ngorok terdengar semakin dikeraskan.

Akhirnya kami membahas peristiwa itu dengan Gwen. Bertanya kepadanya kenapa hal itu dilakukan dan apa dampak buruknya. Kami infokan bahwa uang itu tidak bersih. Uang itu berpindah dari tangan ke tangan dan mengandung banyak sekali kuman. Lalu kami pun bertanya apakah Gwen sudah menyadari kesalahannya. Tapi Gwen tetap berkeras bahwa semua itu bukan kesalahannya. Mamanya pun kembali bertanya.

“Terus salah siapa dong kalau Gwen nggak merasa bersalah” tanya mamanya. Dan coba tebak apa jawaban Gwen yang mengagetkan kami berdua.

“Semua itu salah mama dan papa… “ jawab Gwen sambil memasang wajah ekspresif dan jarinya menunjuk-nunjuk yang membuat kami berdua terkejut. Duh! Rasanya seperti tertikam bercampur kaget karena anak kami bisa mengucapkan hal itu. Istri saya yang terkejut dengan pernyataan Gwen mencoba melakukan klarifikasi atas jawaban yang mengejutkan itu.

“Kenapa kok salah mama dan papa?” selidik mamanya Gwen. Kami berdua sedikit berharap mungkin ini karena pengaruh tayangan sinetron yang secara tak sengaja sering tertonton olehnya.

“Mama sekolah…” kata Gwen. Mamanya terkejut.

“Terus salah papa?” tanya mamanya.

“Papa di Surabaya..” jawab Gwen. Kali ini saya yang terkejut.

Kami berdua kemudian sibuk mencari pembenaran atas situasi yang terpaksa Gwen alami. Terlepas dari itu pengaruh sinetron atau bukan, jelas sekali kemampuan analisisnya berkembang dengan sempurna. Kami orangtuanya yang semakin merasa bersalah atas kondisi yang dialaminya. Walau akhirnya Gwen minta maaf karena telah meminum susu kotor itu, dalam hati kami berdua sadar bahwa kami berdualah sebenarnya yang perlu banyak-banyak minta maaf padanya.

Keesokan harinya hal ini masih jadi perbincangan saya dan istri. Kamipun sepakat sehabis istriku menyelesaikan pendidikannya, tak boleh ada ambisi lainnya. Tak boleh lagi tinggal berjauh-jauhan. Ambisi yang ada hanya untuk Gwen (dan adiknya jika nanti Tuhan berikan) agar bertumbuh dan berkembang dengan baik dalam kasih sayang kami sebagai orangtuanya.

Love u boruku... 

Jumat, 17 Maret 2017

Usia 40: Fourty years and counting!



Biasanya saya menulis artikel untuk diposting di blog tepat pada saat hari ulang tahun saya yaitu di tanggal 15 Maret. Kali ini berbeda. Bukan karena malas atau tidak sempat, tapi karena bingung harus mulai dari mana. 

Kemudian, tiba-tiba saja terpikir harus ada tulisan untuk bisa di-track di kemudian hari. Sayang sekali, kalau selama ini sudah menulis saat ulang tahun dan tiba-tiba missed di 1 tahun. Tahun yang cukup penting malah.. karena angka depannya sudah berubah dan angka di belakangnya juga. 
Bapak ini ulang tahun...

Di depan, angka empat sudah bertengger dan di belakangnya adalah angka nol. Tidak salah kalau orang bilang “Life begin at fourty”. Pendapat itu betul.. Angka 4 adalah angka yang kurang baik menurut teman-teman dari Tiongkok. Itu angka mati katanya. Tapi, coba lihat dan perhatikan baik-baik, di belakangnya ada angka nol yang artinya angka awal. Jadi kalau digabung maknanya menjadi mati dan kemudian kembali lagi dari awal. Meminjam kalimatnya orang-orang rohani yang ahli kitab suci, maknanya bisa menjadi mati dan bangkit kembali.

Tapi apa sejatinya yang harus dirubah saat usia memasuki kepala 4 selain mengganti pasta gigi? Mungkin sudah harus mulai melihat kembali kondisi kesehatan. Mungkin sudah harus melihat apa-apa yang perlu dilakukan untuk stay fit and stay sharp. Usia sudah kepala empat tapi anak masih kecil. Usianya belum ada sepersepuluh usia bapaknya 😄

Sudahlah.. tidak usah banyak-banyak yang perlu ditulis kali ini. Intinya, ya.. berubah.. harus lebih sehat. Jaga makan, jaga kebiasaan, jaga pikiran, perkataan dan perbuatan. Semakin sayang istri.. semakin sayang anak.. semakin sayang adiknya Gwen (kalau jadi 😅 )

Tiba-tiba teringat kisah rajawali tua yang harus rela menderita. Supaya cakarnya tumbuh menjadi baru. Supaya paruhnya kembali tajam dan siap menerkam mangsa. Mangsa itu bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk keluarganya. Keluarga selalu nomor satu.. harus. Pekerjaan? Kalau bisa nomor sepuluh saja 😂

Akhirnya, terimakasih untuk istriku yang sidak (tapi diinfokan juga ke suaminya) ke Surabaya untuk menghadiri wisuda magisterku. Terimakasih untuk boruku yang rela ditinggal mamanya sebentar. Terimakasih untuk dukungan organisasi tempatku bekerja. Untuk orangtua dan saudara-saudaraku dimanapun mereka berada. Terimakasih juga untuk seluruh staf Wahana Visi Indonesia Urban Surabaya yang sudah repot-repot menyediakan kue, meluangkan waktu untuk bernyanyi sebentar, dan untuk mendengar segala keluh-kesah atasan mereka. Jadi teringat waktu di Wamena (Papua) dulu juga begitu. Tuhan itu memang baik. Dia selalu memberikan staf-staf terbaik. Semoga apa yang kita lakukan bersama adalah memang yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk anak-anak yang kita layani.

Akhirnya lagi, usia 40 bukan hal yang menakutkan (harusnya..), tapi sesuatu yang harus disyukuri. Puji Tuhan atas segala anugerahNya buatku dan keluargaku. Umur manusia itu 70 tahun dan kalau kuat 80 tahun, well then… just be brave and be bold (sama aja artinya) it’s still 40 and counting for 40 years more…

Amin.

Jumat, 05 Agustus 2016

Jalan-jalan ke Ketandan



Kemarin, atas usulan seorang kawan saya bersama beberapa teman mengunjungi suatu tempat di Surabaya yang disebut sebagai Kampung Ketandan. Jujur, lama bermukim di Surabaya tak serta merta membuat saya tahu persis dimana lokasi kampung ini. Begitu mendengar namanya maka otomatis yang terpikir adalah menanyakan perihal tentangnya kepada orang yang tepat. Orang itu adalah Mbah Google :-) 

Blognya Kampung Ketandan. Sumber: ketandansurabaya.blogspot.co.id

Dari si Mbah, saya mendapatkan petunjuk untuk mengunjungi blognya yaitu Ketandan Surabaya. Blog ini aktif sejak Maret 2016. Jadi, asumsi saya kemungkinan besar kampung ini baru direvitalisasi sekitar awal tahun 2016 ini. Tapi itu masih sebatas asumsi. Mungkin ada baiknya langsung mengunjungi lokasi dan bertanya pada informan yang tepat.

Ketika mengunjungi lokasi, jika tidak bertanya maka tidak akan dapat lokasinya. Karena kebetulan kami rajin bertanya maka lokasinya pun dapat dan nggak pakai nyasar….he..3x Ternyata lokasinya benar seperti apa yang ada di foto yang ditampilkan di blognya. Saya coba bandingkan foto lawas yang ada di blog dengan foto kemarin. Tampak sekali perbedaannya, perbedaan yang membuat saya sadar bahwa ternyata jalan itu sudah ada sejak jaman dahulu kala. Keren… 

Jalan di depan Kampung Ketandan dulu. Sumber: ketandansurabaya.blogspot.co.id


Jalan di depan Kampung Ketandan sekarang. Photo by Rudy Rapang.
Sayangnya Kampung Ketandan bukan terletak di jalan itu. Itu hanya jalan pembuka saja. Jalan masuk Kampung Ketandan persis ada di sebelah Bank of India Indonesia (mudah-mudahan saya menyebutnya dengan benar..). Jalannya kecil, hanya bisa dilalui oleh motor. Nah, ini bagian yang paling menarik: motor ternyata hanya boleh menyala di pintu masuk saja, selebihnya harus dituntun. Itu ternyata yang membuat kami tidak mendengar deru motor selama berjalan-jalan di kampung ini.

Mural langsung menyambut di pintu masuk kampung. Photo by Rudy Rapang.
Ketika memasuki kampung, hampir semua tembok dan jalan dipenuhi oleh mural. Desainnya oke dan sepertinya belum berumur lama. Saya mencoba menyentuh beberapa bagian mural dan ternyata sangat sedikit debu yang menempel. Kembali berasumsi, kemungkinan mural baru dibuat ketika ada perhelatan besar Prepcom HABITAT III yang diadakan Juli lalu. Ini adalah sebuah even berskala internasional dan Surabaya terpilih menjadi tuan rumahnya. Tak heran, jika Surabaya harus lekas-lekas bersolek dan menampilkan yang terbaik dari dirinya. Dan, ini yang paling penting, tak ada yang salah dengan hal itu. Toh hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh warganya. Dalam hati sempat terpikir juga, baik juga kalau sering-sering ada perhelatan besar berskala internasional dilakukan di Surabaya supaya kota ini makin terlihat oke.
Kampung Ketandan terlihat sepi siang itu. Salah kami sendiri mungkin, karena berkunjung pada jam kerja sehingga sulit menemukan orang yang bisa menjadi sumber informasi. Namun, dari penglihatan secara fisik dapat diketahui bahwa memang kampung ini sangat bersih. Public space? Ada dan cukup banyak, bahkan tersedia pula tempat pertemuan (balai) khusus perempuan. Ini menarik, karena di belakang gedung-gedung tinggi itu ternyata tersimpan suatu kampung yang tertata rapi seperti Kampung Ketandan.

Mural di kampung Ketandan. Photo by Rudy Rapang.


Balai tempat aktifitas warga di Ketandan. Photo by Rudy Rapang.

Balai tempat aktifitas warga di Ketandan. Photo by Rudy Rapang.

Tersedia juga tempat berkumpul untuk kaum perempuan. Photo by Rudy Rapang.

Akhirnya, terpikir juga untuk menyebarluaskan apa yang terjadi di kampung ini ke kampung-kampung lain. Bayangkan, kalau semua kampung di Surabaya seperti ini… wow keren! Maka tak salah memang kalau kampung ini sempat dikunjungi oleh delegasi berbagai negara saat perhelatan Prepcom HABITAT III lalu. Sukses terus untuk siapapun yang memulai kampung ini. Keberhasilannya bukan pada bentuk fisik kampung ini, namun pada unsur moralnya dimana semua warga benar-benar berpartisipasi untuk kemajuan kampungnya. Ini nih yang bisa dinamakan Kampung’e Arek Suroboyo… gimana? Setuju?